kesenianReog Ponorogo Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten kesenian Reog Ponorogo Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Reog, sering
diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari
dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan
pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan
kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen
pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama
salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis,
unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok
muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah
kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada
tangan warok dan pembarongnya.
Diceritakan,
begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang
putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya
untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan
Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada
bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini,
praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu
Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah
tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar
Shashangka).
Ketika
putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang
menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar
Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak
membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga
adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat
kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu
Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah
hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu
Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.
Saking
tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan
dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas
putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar
untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia
adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang
memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
NamaChina Adipati Arya Damar adalah Swan Liong.
Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu
dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi
dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang
sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu
itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya
Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia
menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh
Arya Damar.
Anak
yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu
Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah
tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan
nama Raden Patah!
Dari
hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra.
Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal
dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali
ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu
Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil
menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu
Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir
utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan,
seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar
permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang
menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha, Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera
mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim
As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam
yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para
Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat
gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya,
agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.
Tak
kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu
Brawijaya juga sudah memperingatkan agar omongan mereka ini berhati-hati, tidak
gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat
orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian
Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian
di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran
Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat
kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim.
Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan
secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat k husus kepada
Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini.
Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga
pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah
harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu,
Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang
Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini
dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah
piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu
burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain,
dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. (
Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama
Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh
tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang
Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari
suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal
berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah
symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang
Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang
terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan
Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah
symbol dari Pejabat daerah.
Arti
sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau
yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya
dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang
berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat
teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi
halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki
Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang
Islam!
No comments:
Post a Comment