MARHAEN dan PROLETAR
Marhaenisme bukanlah istilah yang baru dalam bahasa kehidupan
sehari-hari terutama dalam konteks bermasyarakat dan bernegara. Istilah Marhaenisme bahkan lebih tua dibandingkan dengan usia Republik
Indonesia, karena istilah tersebut telah muncul pada masa sebelum
diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia sebagai sebuah alat sekaligus
teori perjuangan yang digunakan untuk mewujudkan kemerdekaan dan terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Istilah Marhaenisme pertama kali diawali dengan munculnya istilah
Marhaen yang dicetuskan oleh Soekarno dalam pidato-pidatonya di berbagai tempat ketika memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI)
pada tahun 1927, dan semakin sering dicetuskan oleh Soekarno pada
tulisan-tulisannya di beberapa media cetak saat itu seperti Suluh Indonesia
Muda, Fikiran Rakyat, dan Pemandangan.
Universitas Sumatera Utara menjalankan upaya tersebut secara sistematis dan sangat intensif sehingga tidak hanya menghancurkan kekuatan Soekarno secara fisik, tetapi juga mental ideologis.
Universitas Sumatera Utara menjalankan upaya tersebut secara sistematis dan sangat intensif sehingga tidak hanya menghancurkan kekuatan Soekarno secara fisik, tetapi juga mental ideologis.
Marhaenisme
sebagai teori perjuangan dirumuskan oleh Soekarno untuk membebaskan rakyat
Indonesia saat itu dari penderitaan dan kesengsaraan akibat praktek feodalisme
oleh bangsa sendiri dan kapitalisme, imperialisme dan Selain itu, Partai
Nasional Indonesia (PNI) sebagai kekuatan
politik di luar Soekarno yang menggunakan Marhaenisme sebagai asasnya, telah
berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1975.
Marhaenisme, yaitu
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
1.
Marhaen yaitu kaum proletar
Indonesia, k a u m tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia .
2.
Partindo memakai perkataan Marhaen,
dan tidak :proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam
perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan
bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
3.
Karena Partindo berkeyakinan, bahwa
di dalam perjoangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi
elemenelemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai
perkataan Marhaen itu.
1.
Di dalam perjUangan Marhaen itu maka
Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
2.
Marhaenisme adalah azas yang
menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala haLnya
menjelamatkan Marhaen.
3.
Marhaenisme adalah pula
cara-perjoangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian
itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara-perjoangan yang
revolusioner.
1.
Jadi Marhaenisme adalah:
cara-perjoangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan
imperialisme.
2.
Marhaenis adalah tiap-tiap orang
bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
Sembilan kalimat dari putusan ini
sebenarnya sudah cukup terang menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme.
Memang perkataan-perkataannya disengaja perkataan-perkataan yang popular,
sehingga siapa sahaja yang membacanya, dengan segera mengerti apa maksud-maksudnya.
Namun, – ada satu kalimat yang sangat sekali perlu diterangkan lebih luas,
karena memang sangat sekali pentingnya. Kalimat itu ialah kalimat yang kelima.
Marhaen adalah
seorang petani kecil yang menginspirasi presiden pertama RI, Soekarno. ...
Soekarno mendengungkan nama Marhaen dalam pidato pembelaan Indonesia
Menggugat
, Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama
Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927.
Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah
Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen.
“Di dalam perjoangan Marhaen itu,
maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar
sekali.”
Satu kalimat ini sahaja
sudahlah membuktikan, bahwa cara-perjoangan yang dimaksudkan ialah
cara-perjoangan yang tidak ngalamun, cara-perjoangan yang rasionil,
cara-perjoangan yang “menurut kenyataan”, – cara-perjoangan yang modern.
Sebab, apa yang dikatakan di situ? Yang dikatakan di situ ialah, bahwa di dalam
perjoangan Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
Ya, di sini dibikin perbedaan
faham yang tajam sekali antara Marhaen dan proletar. Memang di dalam kalimat
nomor 2, nomor 3 dan nomor 4 daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan
faham itu: bahwa Marhaen bukanlah kaum proletar (kaum buruh) sahaja, tetapi
ialah kaum proletar dan kaum tani-melarat dan kaum melarat Indonesia yang
lain-lain, – misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum
grobag, kaum nelayan, dan kaum lain-lain.
Dan kemoderenannya dan
kerasionilannya kalimat nomor 5 itu ialah, bahwa di dalam perjoangan bersama
daripada kaum proletar dan kaum tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum
proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama
berjoang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama
berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen-seumumnya pula –
namun kaum proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.
inilah yang saya sebutkan modern,
inilah yang bernama rasionil. Sebab kaum proletarlah yang kini lebih hidup di
dalam ideologi-modern, kaum proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung
terkenal oleh kapitalisme, kaum proletarlah yang lebih “mengerti” akan
segala-galanya kemoderenan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Mereka lebih “selaras zaman”, mereka
lebih “nyata fikirannya”, mereka lebih “konkrit”, dan … mereka lebih besar
harga-perlawanannya, lebih besar ,gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain.
Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalarn ideologi
feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas
awang-awang, tidak begitu “selaras zaman” dan “nyata fikiran” sebagai kaum
proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur-gaulan abad keduapuluh.
Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu
Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan menjelma dari kayangan membawa
kenikmatan sorga-dunia yang penuh dengan rezeki dan keadilan, ngandel akan
“kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya
pergaulan-hidup-baru dengan termenung di dalam guha.
Mereka di dalam segala-galanya
masih terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya
begitu: mereka punya pergaulan-hidup adalah pergaulan-hidup “kuno”. Mereka
punya cara-produksi adalah cara-produksi dari zamannya Medang Kamulan dan
Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun
yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri,
mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian
tanah, pendek seluruh kehidupan sosial-ekonominya adalah masih berwarna kuno,
Sebaliknya kaum proletar
sebagai kelas adalah hasil-langsung daripada kapitalisme dan imperialisme.
Mereka adalah kenal akan paberik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal
akan cara-produksi kapitalisme, kenal akan segala kemoderenannya abad
keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati-hidupnya
kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct mempunyai gevechtswaarde
anti-kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam
perjoangan anti-kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka
yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, – jika mereka yang
menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum
tani”
sejak adanya soal ikutnya si tani di
dalam perjoangan melawan stelsel kapitalisme yang juga tak sedikit
menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam perjoangan
tani & buruh ini, kaum buruhlah yang harus menjadi “revolutionaire
voorhoede” alias “barisan-muka yang revolusioner”: kaum tani harus dijadikan
kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dihela
dalam perjoangan anti-kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum
kapitalisme itu, – tetapi di dalam perjoangan-bersama ini kaum buruhlah yang
“menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial”. Sebab, memang merekalah yang,
menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “sociale noodwendigheid”, dan memang
kemenangan ideologi merekalah yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”,
– suatu keharusan riwayat, suatu kemustian di dalam riwayat.
Welnu, jikalau benar ajaran
Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat di atas
tahadi, yang mengatakan bahwa di dalam perjoangan Marhaen, kaum buruh mempunyai
bagian yang besar sekali.
1) Sociale noodwendigheid = suatu
keharusan di dalam masyarakat.
Tetapi orang bisa membantah bahwa
keadaan di Eropah tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa di sana
kapitalisme terutama sekali kapitalisme kepaberikan, sedang di sini ia adalah
terutama sekali kapitalisme pertanian? Bahwa di sana kapitalisme bersifat
“zuivere industrie”, sedang di sini ia buat 75% bersifat “onderneming” gula„
“onderneming” teh, “onderneming” tembakau, “onderneming” karet, “onderneming”
kina, dan lain sebagainya? Bahwa di sana hasil kapitalisme itu ialah terutama
sekali kaum proletar 100%, sedang di sini ia terutama sekali ia menghasilkan
kaum tani-melarat yang papa dan sengsara? Bahwa di sana memang benar mati-hidup
kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum proletar, tetapi di sini ia buat
sebagian besar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya di sana
kaum proletar yang menjadi “pembawa panji-panji”, tetapi di sini belum tentu
harus juga begitu.
benar kapitalisme di sini
adalah 75% industri-kapitalisme pertanian, benar mati-hidupnya kapitalisme di
sini itu buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal
ini tidak merobah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi
“pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak-terjangnya suatu tentara
yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu,
tetapi tokh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh di muka, berjalan di
muka, berkelahi mati-matian di muka,- mempengaruhi dan menyalakan kenekatan
dan keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan
pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas
Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan
pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum
Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan
Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani.
by; mochtadin si bered
No comments:
Post a Comment