angeran Mangkubumi lalu bergabung
dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta,
Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden
Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya,
Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka.
Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus
berpindah-pindah tempat. Raden Mas Said menemui Mangkubumi, dan meminta
mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Dalam upacara penobatan
itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Setelah selama sembilan tahun
berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara
berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. RM Said
berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama
tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian
bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan
Belanda, 1743-1752. Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia
dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan.
“Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan
menghadapi kesulitan. Raden Mas Said balik menyerang pasukan VOC dan
Mataram. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton
Yogyakarta, diserang. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton
Yogyakarta. Sultan gagal menangkap Raden Mas Said yang masih keponakan dan juga
menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Raden Mas Said ke meja perundingan, menjanjikan
hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
Tak seorang pun yang
berhasil menjamah Raden Mas Said . Mangkunegara menyatakan bersedia
berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya,
Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya.
demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa
Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Mangkunegara I ( Raden
Mas Said )
tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan
perang. Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita
di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam
pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16
tahun berperang, Mangkunegara I ( Raden Mas Said ) mengajari wanita desa mengangkat
senjata dan menunggang kuda di medan perang.
ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan
Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus
mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta
pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun,
pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan
Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota
Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16
Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan
benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan
Ponorogo.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkimpoian.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkimpoian.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
No comments:
Post a Comment