Ibn Khaldun Sang Perintis Ilmu Sosial Modern
Ibn Khaldun merumuskan teori sosial lebih
dulu ketimbang Bapak Sosiologi Auguste Comte
Ibn Khaldun
menggagas konsep ashabiyah, hal yang membuat sekelompok orang bersatu melawan
kelompok manusia lain
Ibn Khaldun merintis ilmu sosial modern lima abad sebelum Bapak
Sosiologi Aguste Comte.
Tidak ada yang magis dari sejarah, perubahan abadi, spesies manusia dan
masyarakat berkembang dari konflik. Pandangan itu dikemukakan Ibn Khaldun,
ratusan tahun sebelum Giambatista Vico mengeluarkan tesis tentang bangkit dan
runtuhnya peradaban, sebelum Charles Darwin menerbitkan The Origin of Species, dan mendahului pernyataan Karl Marx bahwa
sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas.
Bergelut dengan tradisi filsafat Yunani dan pelbagai kronik sejarah dunia yang
ditulis oleh kaum cendekia Laut Tengah pada masanya, Ibn Khaldun sampai pada
pertanyaan-pertanyaan: Mengapa sebuah masyarakat punah? Mengapa orang berkumpul
dan bercerai-berai? Apa dampak kekuasaan pada subyek yang dikuasai?
Para sejarawan pada zaman Khaldun—yang hanya sedikit berbeda dari
penulis-pelancong—berasyik-masyuk mencatat rentetan peristiwa yang sering
mereka campur-baurkan dengan mitos, dongeng, keyakinan, atau pesan-pesan
sponsor dari penguasa dan elit politik. Bagi Khaldun, pencampurbauran semacam
itu sedikit sekali membantu memahami perubahan masyarakat.
Satu contoh yang paling sering dirujuk adalah sanggahan Ibn Khaldun terhadap al-Mas'udi dan
sejarawan Arab lainnya yang berargumen tentara Musa yang memimpin tentara
Israil berjumlah 600.000 laki-laki berusia 20 tahun ke atas. Menurut Khaldun,
pandangan ini keliru. Jauh sebelum Musa, Yakub dan keluarganya masuk ke Mesir
dengan jumlah rombongan 70 orang.
Jarak antara Musa dan Yakub sendiri hanya empat generasi. Sementara, ketika
sudah mapan di bawah Sulaiman—yang datang beberapa generasi setelah
Musa—kerajaan Israil hanya memiliki 12.000 pasukan dan 1400 ekor kuda. Lantas
dari mana jumlah 600 ribu personel pasukan? Bagaimana pula menjelaskan
keberadaan ratusan ribu pasukan di tanah sesempit kerajaan Israil? Kekeliruan
Mas’udi, menurut Khaldun, terjadi ketika sejarawan mengabaikan realitas
material dan memilih untuk percaya mitos.
Politik
yang Melelahkan
Studi-studi sejarah bagi Khaldun harus terbebas dari prasangka dan
keyakinan pribadi, serta kepentingan politik, untuk menyenangkan penguasa,
misalnya. Memetakan rentetan perubahan dalam sebuah kronologi adalah satu hal,
sementara menjabarkan dan menjelaskan “[...] negara dan hierarki, pekerjaan,
gaya hidup, sains, kerajinan tangan dan hal-hal lain yang terjad [...] dalam
berbagai keadaan" adalah hal lain yang menjadi tugas sejarawan sejati,
seperti ditulis Khaldun dalam magnum opusnya Muqaddimah(1377).
Namun, jiwa sarjana Khaldun dan sikapnya yang mencurigai kekuasaan juga terkait
erat dengan pengalamannya dekat dengan istana Ibn Khatib, penguasa Granada dan
Fez.
Lahir di Tunis pada 27 Mei 1332, Khaldun dididik layaknya kelas terpelajar saat
itu: hafalan Alquran, hadis, puisi, tata bahasa, retorika, dan hukum. Garis
keturunan Khaldun dikabarkan berasal dari Hadramaut, Yaman, yang berimigrasi ke
Andalusia Spanyol dan melahirkan banyak intelektual, politikus, dan perwira
militer yang mengabdi pada dinasti Ummayah, al-Murabittun dan al-Muwahiddun.
Ayah Khaldun, berbeda dari moyangnya, memutuskan tidak terlibat dalam kehidupan
istana. Adapun ibunya meninggal dunia ketika wabah bubonik dari Asia Tengah
menyapu Tunis.
Khaldun masuk ke dunia politik pada usia muda dan, sialnya, pada masa dinasti
muslim Spanyol tengah dilanda cekcok internal. Dinasti al-Muwahiddun yang
memegang kekuasaan di Granada dan Afrika Utara mulai menurun kejayaannya. Upaya
merebut kembali wilayah-wilayah yang ditaklukkan dinasti-dinasti muslim juga
tengah digencarkan oleh para penguasa Kristen.
Khaldun pernah jadi birokrat istana, tapi kemudian ia dipenjara lantaran
dituduh pemberontak, sampai seorang penguasa memulihkan jabatannya lagi. Siklus
ini dialaminya berkali-kali hingga akhirnya Khaldun mengaku lelah, pulang
kampung, dan memilih jalan sunyi pengetahuan.
Zaman kisruh dan pilihan Khaldun mengasingkan diri dalam rimba pengetahuan
membuatnya tak sengaja merintis sebuah disiplin modern yang kini kita kenal
sebagai sosiologi. Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History: Selections from the Prolegomena of Ibn
Khaldun of Tunis (1332-1406) (1950), Khaldun percaya ada aturan-aturan yang
berlaku atas individu di setiap masyarakat.
Aturan-aturan ini merupakan konstruksi sosial yang terwujud dalam praktik
sehari-hari dan tidak selalu disadari oleh individu, tapi bisa dipetakan
melalui pengumpulan data dan analisis. Dus, kondisi geografis, adat-istiadat,
dan politik dalam tiap masyarakat dipertimbangkan, diklarifikasi, dan
diperbandingkan.
Sosiologi
Ibn Khaldun
Sejarah mencatat kelahiran sosiologi pada abad 19 sebagai respons
akademik terhadap perkembangan masyarakat Eropa setelah Revolusi Industri dan
Revolusi Perancis. Dua revolusi ini berdampak besar pada perubahan pembagian
kerja dalam masyarakat agraris ke industri, kemunculan kota-kota besar,
urbanisasi, tumbangnya monarki, digugatnya privilese kaum nigrat. Para ilmuwan
abad itu memiliki kegusaran yang sama seperti Khaldun yang juga hidup pada
zaman bergolak dan kekuasaan yang labil.
Satu konsep yang menonjol dalam pemikiran Khaldun adalah ashabiyah, yang mirip
gagasan Emile Durkheim tentang “kesadaran kolektif”, atau lebih persisnya
“solidaritas mekanis”—lawan dari “solidaritas organik”—yang ditulisnya dalam Pembagian Kerja dalam Masyarakat (1893). Karena ashabiyah, orang bisa bersatu
melawan sekelompok manusia lainnya. Ashabiyah bekerja dengan penguatan
nilai-nilai dan norma yang dianut suatu kelompok. Kendurnya ashabiyah dapat
menyebabkan rusaknya masyarakat secara keseluruhan.
Kasus yang diajukan oleh Khaldun adalah pertentangan antara masyarakat nomad
dan perkotaan. Baginya, sejarah adalah siklus pertarungan abadi dua kelompok
ini. Menurut Khaldun, orang-orang nomaden “kasar, biadab dan tidak berbudaya,
dan […] bertentangan dengan peradaban.” Namun di saat yang sama, orang-orang
nomaden memiliki ikatan sosial yang kuat, tangguh, hemat, dan tak rusak
moralnya, cinta kebebasan, dan mandiri, sehingga mereka melahirkan
prajurit-prajurit papan atas.
Suku-suku Bedouins, Berber, dan Kurdi, baik dari zaman kekuasaan Islam maupun
pra-Islam merupakan contoh dari orang nomaden. Adapun kebudayaan di kota-kota,
kendati menghasilkan puncak-puncak sains, filsafat, dan seni, melahirkan
penduduk yang lembek dan lupa cara membela diri. Solidaritas antar-warga sangat
lemah dan perlindungan atas agresi militer diserahkan pada negara.
Menurut Khaldun, rendahnya ashabiyah inilah yang menyebabkan peradaban
yang maju mudah diluluhlantakkan orang-orang barbar. Sementara itu, lemahnya
solidaritas mekanis di masyarakat perkotaan, dalam karya Durkheim, dibayar
dengan tingginya tingkat bunuh diri.
Menghilangnya Ibn Khaldun dari peta pengetahuan Barat adalah hal yang tidak
lazim, apalagi saat ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ibn Rusyd dan Ibn Sina
dirayakan. Syed Farid Alatas, guru besar sosiologi pada National University of
Singapore, dalam sebuah makalahnya, "Ibn Khaldun and Contemporary Sociology"
(2006) menyebutkan pelupaan Ibn Khaldun disebabkan oleh pandangan bahwa
Baratlah yang merintis ilmu sosial—suatu pandangan yang berkembang bersamaan
dengan kolonialisme yang juga memanfaatkan ilmu sosial sebagai alat kekuasaan.
Namun, Alatas juga menambahkan bahwa pada zaman ketika Ibn Khaldun hidup,
murid-muridnya tak tertarik menerapkan gagasan-gagasan Khaldun untuk membaca
masyarakat mereka sendiri, apalagi mengembangkannya.
Mochtadin si beted
No comments:
Post a Comment