Wednesday 14 June 2017

Sunan Kudus. Sunan Kalijaga, sunan gunung jati

Posted by Unknown on Wednesday 14 June 2017

Sunan Kudus. Sunan Kalijaga,  sunan gunung jati

Jati diri Sunan Kudus
Dalam sejarah sunab kudus Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.

Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah

ASAL NAMA KOTA KUDUS
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.
TENTANG SUNAN KUDUS
dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat tampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan) kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).
PENDIDIKAN SUNAN KUDUS DAN DAKWANYA
Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus.

a adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.




















Tak heran, jika hingga sekarang makamnya yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa olehnya.

Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

 Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam(seorang Raja Champa yang berkuasa dari tahun 1471 - 1478 dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).
Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Raja Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati
Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

adapun wasiat wasiat  sunan gunung jati
Ipat-ipat (Wasiat) Kanjeng Sinuhun Maulana Syarif Hidayatullah kepada anak cucu (turunannya).
Ipat-ipat yang nyata kepada anak cucu Sinuhun Cirebon, ketika sekalian para wali berkumpul {dan menjadi saksi} di Ardi Amparan (Paseban Gunung Jati); {para wali tersebut} ialah :
1.    Machdum Bonang (Sunan Bonang)
2.    Machdum Girikraton (Sunan Giri Kedaton)
3.    Machdum Kalijaga (Sunan Kalijaga – Raden Syahid)
4.    Machdum Darajat (Sunan Kadarajat / Sunan Derajat)
5.    Pangeran Machdum (Pangeran Machdum Judah)
6.    Syeikh Maulana Maghribi
7.    Sultan Demak
8.    Pangeran Panjunan dan sekalian anak cucu sinuhun Cirebon, berwasiat yang tentu kepada anak cucu dengan ipat-ipat yang yakin.
“Kakanda Pangeran Panjunan, saksikanlah oleh sekalian, saya berwasiat kepada keturunanku di belakang seperti {di bawah} ini" :
1.    Hormatilah para leluhur
2.    Berbaktilah kepada orang tua
3.    Murah Hati (Penyayang)
4.    Perasaan Bersyukur
5.    Mengerjakan ibadah
6.    Merendahkan diri
7.    Memakai sifat yang terpuji
8.    Menjauhi sifat yang dibenci
9.    Pengertian (ilmu) yang baik
10. Hilangkan sifat (lagak) pemarah
11. Jauhilah bertengkar
12. Jangan suka menyangka jelek akan yang tidak nyata buruknya
13. Jangan membiasakan congkak takabur (besar kepala)
14. Jangan suka menyalahi janji
15. Kalau tidak baik supaya diperingatkan
16. Takut kepada Allah (menjalankan perintahnya, menjauhi larangannya)
17. Bertepa diri (bersiasat diri - perikemanusiaan)
18. Berlaku adil
19. Jangan mengerjakan semena-mena, tidak memberi faedah
20. Peliharalah peninggalan-peninggalan (pusaka)
21. Mendatangi mu’min
22. Menghormati tamu
23. Bermanis muka perangai yang elok
24. Jangan mengumbar syahwat
25. Jangan makan jika tak merasa lapar
26. Jangan memukul muka orang
27. Jangan minum apabila tidak makan
28. Jangan tidur sebelum mengantuk
29. Apabila sembahyang ibarat di ujung panah
30. Kalau berpuasa seperti talinya panah
31. Menuntut rizki yang halal
32. Jangan suka banyak berkehendak
33. Dapat menahan nafsu
34. Jika marah bermuram durja, berilah kesenangan, (muka/perkataan manis) agar segera insyaf. (Kalau susah campurlah dengan yang senang, supaya lekas hilang)
35. Jangan menyakiti hati orang
36. Banyak kesakitan manusia karena dari keluarga anak cucu (kelakuan sendiri)
37. Jikalau anak cucu yang mengejarkan menyakiti hati manusia akan aku mintakan supaya dipendekkan umurnya, jangan dilamakan di dunia.                                                                      Inilah ipat-ipatku supaya diingat oleh anak cucu, dibelakang hari.
38. “Barang siapa telah mengetahui tutur kata ini sudah lupa lagi, tetapi kujaga juga, aku lindungi, tertanggung oleh saya.” Sekalian wali-wali mengatakan “Aamiin Ya Allah, moga-moga terkabul doanya sinuhun Cirebon.
39. Hai Ki Mas Hasanuddin* Jagalah, ingatkanlah dalam hatimu segala wasiat orang tuamu dan sampaikan tiap-tiap keturunan sinuhun yang belum (tidak) mengetahuinya. {*disampaikan eyang Syarif kepada Eyang Maulana Hasanudin, putra beliau, dan tidak menyebut nama putra yang lain, mungkin dikarenakan para putra eyang Syarif yang lain pada sudah meninggal lebih dulu (P. Pasarean Cirebon, P. Jayakelana, P.Bratakelana) daripada eyang syarif yang berumur panjang, kecuali eyang Maulana Hasanudin, putra yang masih hidup kala eyang syarif meninggal dunia}
40. Barang siapa anak cucu yang menurut wasiat ayahmu, menjalankan, pasti jadi mulia turun temurun, ingatkanlah baik-baik 
"Periwayatan wasiat Jalur Banten (ipat-ipat) di atas kurang lebih sama dengan periwayatan cirebon (petatah-petitih) Sunan Gunung Jati, namun jalur Banten yang saya dapat sudah dalam keadaan terjemahan dari tahun 1952, dibatasi hanya 40 wasiat, dilengkapi dengan penjelasan latar belakang wasiat ini diturunkan dalam pertemuan para wali (asbabun nuzul) dan penjaminan penjagaan oleh eyang Sunan.. sedangkan petatah petitih cirebon yang beredar, umumnya/biasanya langsung menuliskan wasiat-wasiat beliau berupa ajaran akhlak dan pengklasifikasiannya dalam bahasa daerah dan maknanya " :

Yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:
§ Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (Aku titip tajug dan fakir miskin).
§ Yen sembahyang kungsi pucuke panah (Jika shalat harus khusu’ dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
§ Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (Jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
§ Ibadah kang tetap (Ibadah itu harus terus menerus, harus istiqomah)
§ Manah den syukur ing Allah (Hati harus bersyukur kepada Allah)
§ Kudu ngahekaken pertobat (Banyak-banyaklah bertobat).
Yang berkaitan dengan kedisiplinan
§ Aja nyindra janji mubarang (Jangan mengingkari janji)
§ Pemboraban kang ora patut anulungi (Yang salah tidak usah ditolong)
§ Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (Jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benar atau disalahgunakan)
Yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:
§ Singkirna sifat kanden wanci (Jauhi sifat yang tidak baik)
§ Duwehna sifat kang wanti (Miliki sifat yang baik)
§ Amapesa ing bina batan (Jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
§ Angadahna ing perpadu (Jauhi pertengkaran).
§ Aja ilok ngamad kang durung yakin (Jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya).
§ Aja ilok gawe bobat (Jangan suka berbohong).
§ Kenana ing hajate wong (Kabulkan keinginan orang).
§ Aja dahar yen durung ngeli (Jangan makan sebelum lapar)
§ Aja nginum yen durung ngelok (Jangan minum sebelum haus).
§ Aja turu yen durung katekan arif (Jangan tidur sebelum ngantuk).
§ Yen kaya den luhur (Jika kaya harus dermawan).
§ Aja ilok ngijek rarohi ing wong (Jangan suka menghina orang).
§ Den bisa megeng ing nafsu (Harus dapat menahan hawa nafsu).
§ Angasana diri (Harus mawas diri)
§ Tepo saliro den adol (Tampilkan perilaku yang baik).
§ Ngoletena rejeki sing halal (Carilah rejeki yang halal)
§ Aja akeh kang den pamrih (Jangan banyak mengharap pamrih).
§ Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (Jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang).
§ Gegunem sifat kang pinuji (Miliki sifat terpuji)
§ Aja ilok gawe lara ati ing wong (Jangan suka menyakiti hati orang).
§ Ake lara ati, namung saking duriat (Jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
§ Aja ngagungaken ing salira (Jangan mengagungkan diri sendiri).
§ Aja ujub ria suma takabur (Jangan sombong dan takabur).
§ Aja duwe ati ngunek (Jangan dendam).
Yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:
§ Den hormat ing wong tua (Harus hormat kepada orang tua).
§ Den hormat ing leluhur (Harus hormat pada leluhur).
§ Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (Hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
§ Den welas asih ing sapapada (Hendaklah menyanyangi sesama manusia).
§ Mulyakeun ing tetamu (Hormati tamu).
Yang berkaitan dengan kehidupan sosial;
§ Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (Jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
§ Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (Jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
 § Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (Jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).
§ Aja dagangan atawa warungan (Jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
§ Aja kunga layaran ing lautan (Jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang). 
                                                                                                                   by ; mochtadin si beted

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment